ANCAMAN BAGI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI PULAU SUMATERA

PENDAHULUAN

Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati yang terdiri dari SDA nabati (tumbuhan) dan SDA hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Tingkapan keanekaragaman suatu ekosistem mencakup; keanekaragaman ekosistem, yaitu yang mencakup keanekaan bentuk dan susunan bentang alam serta kaitan makhluk hidup dengan lingkungannya; keanekaragaman spesies baik di daratan maupun perairan; dan keanekaragaman genetis dengan gen adalah sebagai faktor utamanya.
Sumatera yang berukuran panjang 1.800 kilometer dan lebar 400 kilometer, merupakan fokus dari investasi pertama CEPF (Critical Ecosystem Partnership Fund atau Dana Kemitraan Ekosistem Kritis) di Sundaland, karena kawasan ini mungkin merupakan pusat lokasi yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi namun tingkat ancaman paling tinggi. Sumatera mempunyai jenis mamalia terbanyak (210 spesies) dibandingkan dengan semua pulau lain di Indonesia. Enam belas spesies mamalia tersebut bersifat endemis di Sumatera, dan sekitar 17 bersifat endemis di Kepulauan Mentawai di sebelahnya. Keanekaragaman primata endemis Sumatera per unit daerah merupakan yang tertinggi di seluruh dunia. Delapan jenis mamalia endemis Sumatera dan di Kepulauan Mentawai tercatat dalam Red List of Threatened Species (Daftar Merah Spesies yang Terancam) IUCN, dan di Lampiran Konvensi Perdagangan
Internasional tentang Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/CITES).
Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF), atau Dana Kemitraan Ekosistem Kritis, dirancang untuk menjaga kelestarian pusat-pusat lokasi keanekaragaman hayati dunia yang terletak di negara-negara berkembang, dan yang telah terancam kelangsungannya. CEPF merupakan inisiatif gabungan dari Conservation International (CI), Global Environment Facility (GEF), Pemerintah Jepang, MacArthur Foundation dan Bank Dunia. CEPF memberikan pendanaan bagi proyek-proyek di pusat-pusat lokasi keanekaragaman hayati – yaitu kawasan yang mempunyai lebih dari 60 persen keanekaragaman spesies terestrial didalam wilayah seluas 1,4 persen dari luas permukaan bumi. Tujuan mendasar dari pendanaan ini adalah untuk memastikan bahwa masyarakat umum aktif terlibat dalam upaya-upaya perlindungan keanekaragaman hayati di lokasi-lokasi tersebut. Tujuan lainnya adalah untuk memastikan bahwa upaya-upaya tersebut akan melengkapi strategi-strategi yang ada serta kerangka-kerangka kerja yang telah dibuat oleh pemerintah, baik tingkat lokal, daerah, maupun nasional.
Daftar burung Sumatera berjumlah 582 spesies, sekitar 465 daripadanya bersifat menetap dan 14 bersifat endemis, menjadikannya daerah biogeografis terkaya kedua di Indonesia dalam hal burung, setelah Papua. Menurut BirdLife International, terdapat 34 Kawasan Penting Burung (Important Bird Areas/IBA) di pulau Sumatera, 54% diantaranya berada di luar daerah yang diproyeksikan, dan 18% berada di hutan dataran rendah yang keadaannya terancam kritis. Dari 300 spesies reptil dan amfibia Sumatera, 69 (23%) bersifat endemis. Sistem perairan tawar Sumatera mengandung 270 spesies, 42 (15%) diantaranya bersifat endemis.
Orangutan Sumatera adalah salah satu jenis satwa endemis Sumatera yang saat ini telah masuk ke dalam kategori kritis/sangat terancam punah (critically endangered) di dalam daftar merah IUCN (2007), sebuah badan dunia yang memantau tingkat keterancaman jenis secara global. Penyebab utama mengapa terjadi penyempitan daerah sebaran adalah karena manusia dan orangutan menyukai tempat hidup yang sama, terutama dataran alluvial (tanah yang baru terbentuk/masih muda dengan tingkat kesuburan yang tinggi (biasanya dari muntahan gunung berapi) di sekitar daerah aliran sungai dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi pihak orangutan.
Sebagian besar spesies tumbuhan endemis Sumatera ditemukan di hutan-hutan dataran rendah yang berada di bawah 500 meter, meskipun sampai saat ini baru sekitar 15% dari keseluruhannya yang telah tercatat. Hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanyalah kurang dari 40%. Tingkat penebangan hutan saat ini rata-rata sebesar 2,5% per tahun, dan yang terparah terjadi di daerah dataran rendah dan hutan-hutan perbukitan yang kaya akan spesies.
Dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati oleh manusia ternyata membawa dampak dalam pengeksploitasiaannya dan menjadi ancaman tersendiri bagi keanekaragaman hayati di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi penyebab atau permasalahan yang menjadi ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati adalah :
1. Kerusakan hutan akibat land use
2. Illegal logging
3. Perburuan liar
4. Perdagangan tak terkendali

A. Pengertian Ancaman Keanekaragaman Hayati
Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang : Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) dalam definisi oleh WWF (1989) adalah Kekayaan hidup di bumi, jutaan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, genetika yang dikandungnya, dan ekosistem yang dibangunnya menjadi lingkungan hidup. Tingkatan keanekaragaman hayati:
 Genetik
 Species
 Komunitas dan Ekosistem
(Indrawan, dkk., 2007).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ancaman” diartikan sebagai sesuatu yang diancamkan yang dapat merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan. Dalam hal ini, ancaman keanekaragaman hayati merupakan suatu hal ataupun tindakan yang dapat menyebabkan terganggunya habitat suatu jenis atau spesies baik flora maupun fauna sehingga dapat menyebabkan punahnya suatu jenis tersebut. Suatu spesies dikatakan punah ketika tidak ada satu pun individu dari spesies itu yang masih hidup di dunia.

B. Penyebab Timbulnya Ancaman Keanekaragaman Hayati
Keadaan kawasan lindung yang terus memburuk dan cepatnya kerusakan hutan dataran rendah merupakan ancaman umum terhadap keanekaragaman hayati Sumatera yang nampak nyata. Sebelum membicarakan ancaman-ancaman pokok lainnya, penting untuk mempertimbangkan penyebab-penyebab utamanya:
1. Kurangnya kemauan politik.
Meskipun deklarasi-deklarasi di tingkat nasional telah mengarah pada penghentian pengrusakan hutan yang ilegal dan perdagangan satwa liar yang ilegal, hanya ada sedikit kemauan politik atau perhatian yang terorganisir baik untuk melakukan hal yang sama pada tingkat lokal.
2. Kemiskinan.
Di tahun setelah krisis ekonomi 1997, standar hidup bagi 15 juta lebih orang Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Di tahun 1999, 18,2% hidup dalam kemiskinan. Pada awal 2001, GDP per kapita adalah $2,685.
3. Korupsi, kolusi dan nepotisme.
Penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi merupakan warisan yang telah merajalela dan banyak didokumentasikan sejak jaman Suharto. Keterlibatan militer dalam pengrusakan sumber-sumber daya hutan juga merupakan peninggalan jaman itu.
4. Penegakan hukum yang tidak berfungsi.
Tiadanya penegakan hukum, khususnya dalam sektor kehutanan, telah umum diketahui, bahkan dalam pernyataan-pernyataan resmi oleh Menteri Kehutanan Indonesia.
5. Dorongan kuat terhadap pembabatan dan perubahan fungsi hutan.
Keuntungan dari industri minyak kelapa sawit dan kebangkrutan industri kertas dan bubur kertas, mendorong terjadinya pembabatan, pembakaran dan perubahan fungsi hutan dalam skala besar. Sementara, proses pembalakan dan perubahan fungsi tersebut memberikan mata pencaharian bagi masyarakat lokal, yang meskipun tidak sah namun sangat dibutuhkan.
6. Dorongan terhadap upaya konservasi tidak memadai.
Nilai dari layanan-layanan ekologis (misalnya pengendalian banjir, fungsi-fungsi aliran air, dan pemanfaatan hasil-hasil hutan yang diatur dengan baik) tidaklah dipahami dengan baik, sementara hukuman terhadap pembabatan hutan yang ilegal kurang memadai (Critical Ecosystem Partnership Fund, 2001).

C. Bentuk-bentuk ancaman keanekaragaman hayati
Kegiatan manusia telah menyebabkan kepunahan banyak spesies. Sejak tahun 1600, sekitar 2,1% spesies mamalia dan 1,3% spesies burung di dunia telah punah. Banyak spesies yang ada saat ini berada di ambang kepunahan. Lebih dari 99% spesies yang punah pada saat ini di sebabkan oleh kegiatan manusia. Secara umum, ancaman keanekaragaman hayati di bagi atas tujuh yaitu:
• Kerusakan habitat
• Fragmentasi habitat
• Degradasi habitat
• Perubahan iklim global
• Pemanfaatan spesies yang berlebihan
• Invasi spesies-spesies asing
• Meningkatnya penyebaran penyakit dan,
Ketujuh ancaman terhadap keanekaragaman hayati di atas disebabkan oleh penggunaan kekayaan alam yang semakin meningkat. Dan ancaman- ancaman bagi keanekaragaman hayati tersebut adalah akibat kegiatan manusia yang dapat di kelompokkan menjadi empat poin.
1. Kerusakan ekosistem akibat penggunaan lahan ( land use)
2. Penebangan liar ( illegal loging)
3. Perburuan Liar
4. Perdagangan tak terkendali
Untuk setiap komponen lingkungan ataupun ekosistem, ancaman dapat mengakibatkan kehilangan total. Komunitas biologi dapat terganggu, menyempit dan berkurang nillainya bagi masyarakat. Namun selama semua spesies aslinya tetap ada, maka komunitas tersebut mempunyai kemampuan untuk kembali seperti semula. Demikian pula halnya dengan variasi genetik. Variasi genetika pada suatu spesies dapat berkurang jika jumlah individu dalam populasinya berkurang, tetapi spesies dapat mengembalikan variasi genetiknya melalui mutasi dan rekombinasi. Sayangnya ketika suatu spesies punah, Informasi genetik yang unik yang terdapat pada materi DNA-nya maupun kombinasi khusus sifat-sifat unik yang dimilikinya akan hilang selamanya. Ketika suatu spesies punah, populasinya tak akan dapat dipulihkan, komunitas tempat hidupnya akan kekurangan komponen dan nilai potensinya bagi manusia tidak akan pernah terwujud (Indrawan, dkk., 1998).


1. Kerusakan ekosistem akibat penggunaan lahan ( land use)
Kerusakan ekositem bahkan habitat mendorong spesies bahkan seluruk komunitas menuju ambang kepunahan. Kerusakan habitat sebagai akibat yang tak dapat dihindari dari bertambahnya populasi penduduk dan kegiatan manusia. Beberapa contoh yang menjadi kasus di sumatera adalah:
 Perkebunan Kelapa Sawit
Di Propinsi Jambi, pemerintah daerah mempromosikan ekspansi dari perkebunan kelapa sawit. Gubernur propinsi ini telah mengumumkan rencana untuk mengubah 1 juta hektar hutan menjadi kelapa sawit sampai tahun 2005. Situasi di Jambi ini mencerminkan besarnya rencana ekspansi kelapa sawit yang akan dilaksanakan di tempat lain, setidaknya di Propinsi Riau dan di Sumatera utara. Seperti terlihat pada gambar berikut, pembersihan lahan ataupun kawasan dengan cara pembakaran menyebabkan kebakaran hutan yang dapat mengancam satwa-satwa bahkan menyebabkan kerusakan ekosistem di sekitarnya.
Pada saat yang bersamaan, kebakaran hutan banyak terjadi di seluruh Sumatera, khususnya di wilayah tengah dan selatan. Dengan meningkatnya harga minyak kelapa sawit, para pembangun perkebunan yang haus akan tanah di Sumatera dengan sengaja membakar hutan dengan skala wilayah yang luas. Di tahun 90-an, kontraktor perkebunan dan pembebasan tanah menggunakan api sebagai mekanisme utama untuk membuka lahan.
 Konstruksi Jalan
Jalan merupakan rute dimana para penduduk dan truk-truk penebangan ilegal mendapat akses ke kawasan hutan yang dahulu terpencil, beserta semua spesies yang hidup di dalamnya. Jalan-jalan untuk penebangan hutan ini seringkali menjadi rute transportasi resmi yang diadopsi oleh pemerintah lokal. Di sebagian besar wilayah Sumatera, pembangunan jalan untuk penebangan ini menandai tahap pertama hilangnya hutan secara keseluruhan. Pemerintah lokal nampaknya cenderung untuk mengakomodasi konstruksi jalan sebagai suatu bentuk mendapatkan penghasilan.
Gambar dari satelit mencatat ratusan jalan-jalan untuk penebangan melintasi jauh sampai ke dalam hutan-hutan lindung dan taman-taman nasional. Propinsi Aceh mempunyai rencana untuk membangun sistem jalan masuk, mulai dari Banda Aceh selatan sampai ke batas Ekosistem Leuser. Baru-baru ini, sebuah jalan telah dibangun di Taman Nasional Kerinci Seblat, meskipun ada peraturan yang melarangnya. Secara umum, pola pembangunan jalan menunjukkan bahwa fragmentasi hutan yang lebih besar akan terjadi dalam waktu dekat.
 Pertambangan
Ledakan bisnis pertambangan yang disokong oleh rejim Suharto dimulai pada tahun 90-an, telah menyebabkan pembangunan jalan di daerah yang dahulu terisolasi, pengrusakan hutan, banjir, dan polusi sungai. Sebuah LSM Sumatera telah meminta penutupan operasi pertambangan emas dan perak di Sumatera Selatan karena mengakibatkan kontaminasi di sistem sungai sekitar, hilangnya sumber-sumber daya air untuk penduduk desa sekitar, serta masih banyak kekuatiran lainnya.
2. Penebangan liar ( illegal loging)
Ancaman yang paling utama dalam pelestarian ekosistem hutan adalah kebakaran hutan dan lahan, illegal logging, pemanfaatan sumber daya hayati yang berlebihan, perambahan kawasan hutan, dan eksploitasi yang bersifat destruktif turut memberikan andil besar dalam proses deforestasi dan degradasi lingkungan yang dapat mengancam keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Penebangan kayu secara besar-besaran dengan melupakan pembudidayaan merupakan kesalahan masa lalu indonesia, dan dewasa ini yang menjadi penyakit adalah penebangan liar atau illegal loging yang menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati sehingga menimbulkan punahnya spesies-spesies endemik.
Di sumatera, pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non-kayu yang tidak sah dan ilegal terjadi merajaleladi seluruh Sumatera, terkadang mendapat dukungan dari militer, polisi , serta industri-industri perkayuan, kertas dan bubur kertas. Harga kayu ilegal jauh lebih rendah dari kayu legal, sehingga operasi yang legal tidak mendapat keuntungan ekonomis. Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya permintaan kayu dari Cina, sebagai akibat adanya larangan penebangan kayu di negara tersebut.
Kayu ilegal dari Sumatera diselundupkan melalui Malaysia untuk memenuhi permintaan dari Cina, Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Industri kertas dan bubur kertas merupakan faktor utama ancaman yang terjadi akibatpenebangan kayu. Indah Kiat, salah satu perusahaan kertas dan bubur kertas terbesar di Sumatera, menggunakan 6,8 juta meter kubik bubur kayu di tahun 1999, sekitar 87% diproses dari kayu yang diambil dari hutan dan bukan dari perkebunannya sendiri. Situasi perusahaan ini mirip dengan operasi kertas dan bubur kertas lainnya di Sumatera, dimana kebutuhan kolektif akan kayu kira-kira delapan kali persediaan dari perkebunan. Selain itu, hutang raksasa dan kebangkrutan mendorong perusahaan-perusahaan kertas dan bubur kertas untuk membabat hutan dataran rendah dengan kecepatan yang lebih besar daripada sebelumnya.
3. Perburuan Liar dan Perdagangan tak terkendali
Eksploitasi berlebihan oleh manusia pada saat ini di duga telah mengancam sepertiga mamalia dan burung-burung yang genting dan rentan kepunahannya. Untuk bertahan hidup, manusia berburu atau memanen makanan serta sumber alam lainnya. Penangkapan satwa liar secara besar-besaran dan tidak terkontrol mengakibatkan populasinya di alam menurun drastis. Kegiatan penangkapan dan perdagangan satwa merupakan salah satu penyebab terjadinya peningkatan ancaman kepunahan berbagai jenis satwa. Perlu diingat bahwa satwaliar sangat membantu pelestarian alam
Ancaman keanekaragaman hayati yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh land use, illegal logging, dan perburuan liar saja, tetapi telah sampai kepada tingkat perdagangan flora dan fauna yang telah sampai ke tingkat internasional. Badan organisasi internasional yang menangani perdagangan kayu adalah International Timber Trade Organitation (ITTO) dan yang menangani perdagangan satwa liar dan tumbuhan liar adalah Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Adanya organisasi internasional ini, telah dibuat pengklasifikasian tumbuhan dan satwa liar dalam pengendalian perdagangannya, yaitu :
• Apendiks I, yaitu jenis terancam, kontrol ketat, harus dengan izin khusus.
• Apendiks II, yaitu jenis belum terancam, tetapi memiliki potensi terancam jika tidak dikendalikan (perdagangannya terbatas/kuota).
• Apendiks III, yaitu jenis-jenis yang dikontrol ketat oleh pemerintah, perlu bantuan perdagangan internasional.
Beberapa contoh atau kasus yang terjadi adalah perdagangan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang sudah masuk dalam kategori Apendiks I (kriteria CITES) dan kategori sangat terancam atau critically endangered (kriteria IUCN). Perburuan orangutan ini telah mengakibatkan minimnya jumlah orangutan di habitat alamnya. Selain perburuan orangutan , juga dalam perburuan Harimau Sumatera (Panthera tigris Sumatrae)
Perdagangan satwa dan perburuan liar terjadi merajalela di Sumatera. Insentif keuangan untuk perburuan gelap sangat tinggi, sementara kesadaran dan penegakan hukum atas peraturan perdagangan satwa liar masih rendah. Para politisi lokal dan pejabat militer dilaporkan terlibat dalam perburuan ilegal, dan satu pejabat militer telah ditangkap dan dijatuhi hukuman di Taman Nasional Way Kambas karena melakukan perburuan macan dan penjualan kulitnya secara ilegal (Soehartono, dkk., 2007).
Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 90% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20% satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Semakin langka satwa tersebut semakin mahal pula harganya.
Faktor-faktor masyarakat sipil lain yang juga berpengaruh terhadap hilangnya keanekaragaman hayati antara lain persepsi publik bahwa taman-taman nasional Sumatera dibangun secara ilegal. Pandangan ini mempunyai pengaruh terhadap sejarah panjang konflik dengan otoritas konservasi. Dalam beberapa kasus, masyarakat lokal tetap bertahan dan menyatakan klaim mereka terhadap tanah yang ada di dalam kawasan lindung. Saat dihadapkan dengan kekerasan, tak mengherankan jika para otoritas taman nasional menyerahkan mandat konservasi mereka.
Suasana umum yang ada, yaitu ketidakpastian dan transfer otoritas ke pemerintah lokal, telah mengarah ke jatuhnya aturan hukum. Pertentangan lama di antara kelompok-kelompok etnis, kelas sosial, dan pekerjaan (misalnya petani dan polisi taman nasional), melemahkan efektivitas manajemen kawasan lindung. Konflik sipil di sebelah utara Sumatera, kekacauan hukum secara umum, serta ketegangan etnis atau agama di kawasan lain di pulau itu menyebabkan ancaman yang laten dan terus menerus. Perang sipil di Propinsi Aceh sebenarnya malah menguntungkan konservasi hutan pada saat ini, karena operasi perkayuan dan penebangan terhenti dengan alasan keamanan. Namun sayangnya, para pemberontak dilaporkan mengambil hasil-hasil hutan untuk membiayai pemberontakan mereka. Lingkup dari aktivitas ini tidak diketahui. Di sisi lain, perubahan dalam peraturan pemerintah diharapkan akan memberi kendali pada rakyat Aceh untuk mengatur sumber-sumber daya alam mereka sendiri – suatu perkembangan yang dapat menjadi peluang ataupun menjadi ancaman.

DAFTAR PUSTAKA

Critical Ecosystem Partnership Fund. 2001. Ekosistem Hutan Sumatera di dalam Hotspot Keanekaragaman Hayati Sundaland. Indonesia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Indrawan, M., Jatna S., Richard B. P., dan Padmi K. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Indrawan, M., Jatna S., dan Richard B. P. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Soehartono, T, dkk. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orang utan Indonesia 2007-2017. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Jakarta.

Status Lingkungan Hidup Indonesia. 2008 Keanekaragaman Hayati. Departeman Kehutanan.




Komentar