Cerita di Desa Siambaton

Perjalanan kami menuju Desa Siambaton melewati pematang -
pematang sawah rakyat
Mata kuliah Sosiologi dan Penyuluhan Kehutanan ini sebenarnya aku dapatkan ketika duduk di semester 3 yang lalu. Tugas harus tetap dikerjakan sebagai salah satu syarat kelulusan matakuliah termasuk tugas yang sedikit agak berat dan melalahkan ini. Kami melakukan Orientasi Sosiologi Kehutanan di daerah yang sedikit agak jauh di plosok daerah Sumatera Utara yaitu Desa Siambaton, Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan . Kami harus melakukan perjalanan selama 8 jam dari kota Medan untuk sampai di desa ini. Kegiatan ini dimulai dengan menemui kepala Desa Siambaton, Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan untuk meminta izin melakukan kegiatan pengamatan tersebut. Selanjutnya kami bersama dengan seorang anggota masyarakat yang telah ditunjuk oleh kepala desa melakukan pengamatan dan tinjau lapangan ke dalam Hutan adat.
Banyak informasi yang kami dapatkan dari beliau, karena beliau termasuk seorang penatua di desa tersebut. Selain melakukan pengamatan langsung, kami juga melakukan wawancara kepada masyarakat yang kami temui sedang melakukan aktivitas di dalam hutan dan yang kami temui di perjalanan, mengamati kondisi vegetasi yang tumbuh di hutan tersebut dan kondisi topografi di sekitar hutan. Melakukan pencatatan data dan informasi serta pengambilan photo atau gambar.
Setelah kembali dari dalam hutan, kami menuju daerah perkampungan yang merupakan salah satu dusun dari Desa Siambaton, salah satunya yaitu Dusun Siambaton Julu. Disana kami melakukan wawancara langsung dengan masyarakat terkait pemahaman masyarakat tentang hutan dan pengelolaannya, sejarah hutan adat tersebut serta manfaat yang dirasakan masyarakat dari hutan. Setelah itu, kami melakukan photo bersama dengan masyarakat.

Hutan adat Parna yang tepat berada di kaki Gunung Aek Garu
Hutan adat Parna terletak di desa Siambaton, Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Hutan adat ini disebut Hutan Raja oleh masyarakat sekitar. Desa Siambaton, Kecamatan Pakkat , Kabupaten Humbang Hasundutan dulunya adalah milik marga Simamora. Akan tetapi pada tahun 1829 desa ini di rebut oleh marga Sihotang dengan syarat tanah itu adalah tanah perjanjian antara kedua marga tersebut . Di desa tersebut dikenal istilah “Raja Sitolu Pargooan “ yaitu Siambaton (Parna) raja huta, Sihotang namora boru , Sinaga namora ladang yang artinya bahwa marga Siambaton adalah raja, Sihotang yang kaya akan anak, dan Sinaga yang kaya akan ladang. Di desa ini terdapat sebuah gunung yang bernama Gunung Aek Garu, dimana gunung tersebut adalah gunung tertinggi di daerah tersebut dan jika kita mendaki sampai ke puncak gunung, kita dapat melihat daerah Aceh dan sekitarnya. Selain itu ke arah utara, juga terdapat gunung yang membatasi desa tersebut dengan barus.
Aliran sungai Aek Siambaton sebagai sumber air bersih bagi masyarakat
Di desa ini terdapat sebuah sungai bernama sungai Aek Siambaton Huta Julu, airnya bewarna merah bata yang jernih. Di sungai ini terdapat ikan Mujahir, Pora-Pora, Gabus, Haruting, Haporas, dan ikan-ikan air tawar lainnya. Dulu di sungai ini juga terdapat ikan batak, yang sekarang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, namun karena kondisi sungai yang semakin lama semakin berkurang airnya akibat dari rusaknya hutan lindung yang fungsinya sebagai sumber air bersih. Hal yang menyebabkan air ini berwarna merah karena air ini bersumber dari dua mata air, yang satu berwarna merah bata dan bewarna jernih. Tetapi menurut masyarakat sekitar, karena air yang bersumber dari mata air bewarna merah bata lebih kuat sehingga air yang ada di Sungai Aek Siambaton Julu ini pun bewarna merah bata.
Selain fauna ikan yang berada di sungai ini, di hutan Adat ini juga terdapat banyak fauna yang lain dan flora yang beranekaragam. Contoh fauna yang ada di hutan ini adalh Babi Hutan, Kijang, Harimau, Kancil, Kera, Sarundung, Imbo, dan lain-lain. Contoh flora yang terdapat di hutan ini adalah Meranti, Jati, Durian, Rotan (Mallo), Bambu, Karet, Salak, Manduamas, Medang, Pinus, Kayu putih, Bosi-Bosi, Hau Batu, Mayang dan lain – lain. Namun seiring dengan berjalannya waktu ada beberapa flora dan fauna yang punah akibat dari semakin berkembangnya zaman. Contohnya, Pohon Manduamas (berfungsi sebagai anti nyamuk), yang pemanfaatannya dengan mengambil kulit kayu padahal apabila kulit kayu tersebut diambil seluruhnya maka pohon tersebut bias mati. Namun masyarakat dan pemerintah dalam mengambilnya terlalu berlebihan, dan tidak menanam kembali sehingga laju kepunahannya cepat dan sekarang pohon ini sudah tidak ada lagi di hutan tersebut.
Keadaan topografi di kaki gunung ini sebenarnya adalah padang rumput, ini dapat terlihat dari masih banyak vegetasi rumput yang asli. Hal ini diperkuat dengan penuturan masyarakat sekitar yang menyatakan bahwa dulunya daerah ini adalah padang rumput. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan pengetahuan pola pikir masyarakat sehingga masyarakat menjadikannya sebagai lahan persawahan dan perkebuanan, di desa ini juga terdapat sebuah sungai yang mengalir melalui dua desa. Desa ini atau hutan adat ini berbatasan langsung dengan hutan lindung yang berada di atas Hutan Raja ini.
Kondisi perkampungan desa dimana ternak masih dibiarkan berkeliaran dengan bebas di halaman rumah

Satu-satunya jembatan yang tidak
pernah diperbaiki lagi meski tetap
digunakan oleh masyarakat untuk
menyebrangi sungai
Masyarakat di desa tersebut masih sangat menggantungkan hidupnya terhadap hutan baik itu pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, maupun papan. Akan tetapi sebagian kecil dari masyarakat tersebut sudah mempunyai sumber penghasilan lain. Karena kurang lebih 10 % masyarakat berprofesi sebagai pegawai negeri sipil dan wiraswata seperti warung. Penduduk Siambaton yang berkesempatan bersekolah, paling tinggi hanya mengecap pendidikan SMA. Hal ini disebabkan karena sangat minimnya sarana dan prasarana di desa tersebut, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Di bidang pendidikan saja, desa tersebut tidak memiliki sekolah SMA, sehingga bila anak-anak mereka ingin sekolah SMA, mereka harus pergi ke Kecamatan. Sedangkan sekolah setingkat SMP saja sangat sedikit. Hal ini jugalah yang membuat masyarakat sangat terbelakang. Sarana transportasi lain yang terdapat di daerah tersebut adalah jembatan satu-satunya yang melewati sungai. Sehingga bila hujan turun dan sungai meluap, maka anak-anak masyarakat tersebut tidak bias pergi ke sekolah.
Sarana dan prasarana seperti pendidikan , kesehatan , dan tranportasi dan program masih sangat minim.Hal ini di karenakan daerah ini masih sangat sulit dijangkau oleh kendaraan umum . Dalam bidang pendidikan , desa ini masih jauh tertinggal. Karena di desa ini tingkat pendidikan masih sampai tingkat SMP , dan hanya terdapat satu sekolah SMP yang tidak cukup menampung anak daerah tersebut. Apabila mereka ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi , mereka harus pergi ke ibukota kecamatan karena hanya di tempat itulah terdapat sekolah menengah atas. Dalam hal transportasi, kenderaan umum di desa tersebut masih sangat terbatas karena kondisi jalan yang masih seadanya.
Tidak ada lembaga adat khusus yang langsung mengurus hutan adat di desa tersebut, akan tetapi pengelolaan hutan adatnya langsung berurusan dengan pihak pemerintah desa, seperti kepala desa, sekretaris desa dan lain-lain. Tugas pengelolaan hutan adat berada di tangan semua masyarakat dan juga pemerintah desa. Dalam pengelolaan hutan adat, di ketahui bahwa masyarakat di Desa Siambaton memiliki pemahaman yaitu hutan adalah tempat di mana arwah leluhur mereka tinggal, sehingga hutan tidak boleh dirusak karena bila dirusak, tidak ada lagi tempat bagi arwah leluhur mereka. Bahkan ada beberapa mitos ataupun dongeng yang mereka percayai bahwa itu terjadi pada masa yang lampau sehingga masyarakat tidak bertindak sembarangan di hutan.
Pemuka adat di Desa Siambaton sebagai sumber informasi kami
Salah satu ceritanya ialah tentang adanya seekor harimau berkaki tiga tinggal di dalam hutan, mitosnya bahwa setiap perempuan yang memiliki marga si hotang dan berparas elok yang masuk ke hutan tersebut tidak akan kembali. Masyarakat yang mempercayai hal ini, dulu adalah penyembah harimau tersebut khususnya pada aliran kepercayaan suku batak yang biasa di sebut parmalim. Selain itu mereka juga mengakui adanya seekor kera putih yang memiliki gelang di tangannya yang menjaga hutan adat tersebut, kera tersebut telah pernah di bunuh oleh masyarakat di desa tersebut, namun selang beberapa hari mereka masih menemukan kera yang sama di dalam hutan, mereka mengakui bahwa kera inilah yang menjaga ladang dan sawah mereka dari serangan hewan- hewan lainnya.
Aturan yang terkait dengan pengelolaan hutan adat adalah bagi setiap masyarakat lokal boleh mengambil hasil hutan baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan non kayu sebatas memenuhi kebutuhan mereka saja dan tidak boleh diperdagangkan kepada masyarakat lain dil luar desa tersebut. Selain itu di desa tersebut juga ada aturan tidak boleh menebang pohon durian, karena mereka menganggap bahwa pohon durian tersebut merupakan ciri khas daerah mereka, sehingga harus dilestarikan. Dalam pemanfaatan hasil hutan non kayu, setiap masyarakat harus mendapatkan izin dari kepala desa, sehingga di desa ini masyarakat tidak boleh menenbang pohon sembarangan sekalipun untuk pemenuhan kebutuhan mereka sendiri.
Masyarakat adat menyadari kewajiban meraka adalah menjaga dan melestarikan hutan. Walaupun dalam kegiatan penanaman pohon kehutanan belum pernah ada mereka lakukan disebabkan karena tidak adanya sumber benih dan bibit yang mereka ketahui. Sehingga mereka hanya terfokos pada hak mereka yaitu menikmati hasil hutan dan mengkonversikannya menjadi perkebunan. Tidak ada status penguasaan dan kepemilikan lahan, siapa yang pertama sekali dulunya menanam di hutan adat tersebut dengan luasan tertentu, dialah yang berhak mengelola lahan tersebut. Tidak adanya Insentif bagi masyarakat dalam pengembangan hutan adatpun kami rasa adalah hal yang menghambat kemajuan masyarakat dalam pengelolaannya.
Sanksi bagi masyarakat dalam dan luar adat jika melanggar hukum/ peraturan adat adalah tetap secara bertahap. Dimulai dari mengingatkan ataupun menegur orang yeng melanggar peraturan, namun apabila masih kedapatan melanggar, maka orang tersebut akan didenda sesuai dengan pelanggarannya, dan apabila orang tersebut masih melanggar peraturan maka perangkat desa akan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib dimana sanksinya adalah dipenjara.
Anak-anak Desa Siambaton 
Dalam pengelolaan hutan adat masyarakat tidak memiliki sumber pembiayaan pengembangan kegiatan hutan adat dari pihak manapun. Masyarakat Desa Siambaton melakukannya secara mandiri. Hal ini didukung karena kesadaran masyarakat akan fungsi ekologi yang mereka rasakan dan cara pandang masyarakat lokal tentang alam semesta dan persepsinya tentang hubungan antara proses alami dengan dengan alam semesta bahwa
 Hutan sebagai sumber air bersih
 Hutan harus dijaga agar tidak longsor
 Hutan sebagai sumber udara yang bersih
 Hutan mencegah agar tidak terjadi banjir
Foto bersama masyarakat Desa Siambaton



Komentar

Posting Komentar